Sunday, April 20, 2014

Wisata Arsitektur: Masjid Istiqlal Jakarta (and the Ugly Reality Behind It)

Istiqlal

Mungkin Anda merasa aneh saat mendengar frasa "berwisata ke masjid."
Masjid kok dijadikan "tempat wisata"? Yah begitulah . . .
Tapi mengingat sejarah dan arsitekturnya, masjid yang satu ini memang layak dikunjungi.

Masjid Istiqlal terletak di Jalan Taman Wijaya Kusuma, Jakarta Pusat. Pembangunan Istiqlal diprakarsai oleh presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, dan sampai sekarang masih menjadi masjid terbesar se-Asia Tenggara. Masjid ini dinamai "Istiqlal," yang dalam bahasa Arab artinya adalah "merdeka."

Masjid Istiqlal terletak di dekat stasiun terbesar di Jakarta, Gambir. Juga dekat dengan monumen kebanggaan Jakarta, Monas. Serta dekat pula dengan Gereja Katedral.

Arsitek Istiqlal adalah Fredrerich Silaban (arsitek Kristen asal Sumatera Utara) yang berhasil menyisihkan 22 peserta lainnya dalam sayembara untuk merancang masjid yang akan dibangun besar-besaran dan menjadi kebanggaan bangsa Indonesia ini.

Masjid Istiqlal yang dirancang pada tahun 1954 dan resmi dibuka pada tahun 1978 ini terdiri dari 2 lantai dengan tambahan 4 lantai balkon dan sayap. Kubah utamanya berdiameter 45 meter. Angka 45 diambil dari tahun kemerdekaan RI. Sedangkan kubah yang kecil di bangunan sebelah memiliki diameter 8 meter, diambil dari bulan kemerdekaan RI. Masjid ini juga memiliki menara marmer setinggi 90 meter.

Kubah Utama

Ruang salat utama yang berkubah besar disangga oleh 12 tiang besar yang seutuhnya dilapisi oleh lapisan alumunium. (Anda mungkin sudah pernah melihatnya di TV, terutama saat pelaksanaan salat Idul Fitri di sana.) Angka 12 ini melambangkan tanggal kelahiran Nabi Muhammad.

Ruang Salat Utama di lantai 2

Dengan berbagai pilihan tempat salat, yaitu di ruang salat utama, teras terbuka raksasa, balkon, koridor, serta sayap masjid, Istiqlal bisa menampung sampai 200.000 jamaah. Ruang salat utama dan teras terbuka terletak di lantai 2. Lantai pertama digunakan untuk kantor, ruang pertemuan, instalasi AC sentral dan listrik, kamar mandi, toilet serta tempat wudhu. Tentu saja, masjid sebesar itu butuh pemeliharaan yang efisien. Yup, masjid Istiqlal memiliki yayasan bernama Yayasan Istiqlal yang tugasnya khusus untuk mengurus segala hal yang berhubungan dengan masjid.

Koridor lantai 2

Istiqlal memang sering menerima kunjungan, baik dari dalam maupun luar negeri. Bahkan beberapa presiden Amerika pun pernah menginjakkan kakinya di sini. Tamu dari luar negeri akan dipandu oleh pemandu intern Istiqlal berbahasa Inggris, yang akan mengantar mereka berkeliling dan melihat-lihat bagian-bagian penting masjid Istiqlal.

Ruang Salat Utama di lantai 2

Jadi, apa sajakah bagian-bagian penting tersebut? Sebagian sudah saya jelaskan di atas, mengenai sejarah, kubah, tiang, dan lain-lain. Ada satu hal unik lain yang belum saya sebut, yaitu bedug raksasa yang diletakkan di lantai 2. Bedug raksasa ini panjangnya 3 meter, beratnya 2,30 ton, bagian depannya berdiameter 2 meter, bagian belakangnya 1,71 meter. Big enough to put an elephant in it, eh? Kayu bedug terbuat dari kayu meranti merah (shorea wood) dari sebuah pohon berumur 300 tahun, diambil dari hutan di Kalimantan Timur. (Wow, how do I know so much? Well, I just read it on Wikipedia... Duh! :-D )

Bedug Raksasa

Okay then, enough with facts, let's get back to the reality.
Well, the last time I, my husband, and my daughter went there, I got rather unpleasant experience. Not because we skipped lunch and starved until 4 pm in the afternoon (well, actually that is unpleasant too :-D), but because of something else.

Bagian yang paling tidak menyenangkan adalah warga lokal yang memanfaatkan keadaan dan mengambil keuntungan dari keadaan tersebut. Mungkin ini terjadi saat sebuah tempat ibadah sudah sedikit berubah fungsi menjadi tempat wisata.

Seorang pria tengah tidur siang di tangga masjid

Pertama, adalah pengemis. Masjid adalah salah satu tempat yang tentu saja digemari pengemis.
Pengunjung masjid yang hendak salat, yang mungkin menerima ceramah mengenai kewajiban menyantuni orang miskin, atau tentang berbuat kebajikan pada sesama, adalah sasaran empuk para pengemis. Pengemis menjual rasa kasihan, dan kitalah pembelinya.

Dengan alasan yang akan saya jelaskan di bawah ini, saya pribadi menyarankan Anda untuk menyalurkan uang Anda kepada orang yang benar-benar berhak atasnya. Untuk lebih lengkapnya, silakan buka tautan ini: http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/selektif-dalam-berinfak.html tentang
"Selektif dalam Berinfak." Di sini, saya bahas singkat saja.

Dasarnya adalah surat Al Baqarah: 273. Silakan buka dan baca. Kalimat awalnya adalah "(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; . . ."
Seperti yang dijelaskan pada tautan di atas, ayat ini menyiratkan bahwa kita sebaiknya "tidak memberikan sedekah kepada orang yang masih sanggup untuk bekerja (berusaha) di muka bumi."

Selanjutnya ada hadits Nabi Muhammad SAW berikut:
"Orang miskin itu bukanlah orang yang meminta-minta satu dua kali makan, tapi orang miskin adalah orang yang tidak memiliki harta yang mencukupi dan malu untuk meminta-minta kepada manusia secara mendesak." [Shahih. HR. Al Bukhari: 1406].

"Orang miskin itu bukanlah orang yang berkeliling di tengah-tengah manusia untuk meminta-minta satu dua suap makanan, satu dua buah kurma, akan tetapi orang miskin itu adalah orang yang tidak memiliki kekayaan yang mencukupinya dan kemiskinannya tidak diketahui orang, maka sedekah diberikan kepadanya." [Shahih. HR. Al Bukhari: 1409].

Jadi, ayo kita berinfak kepada orang-orang yang benar-benar berhak.

Setelah disambut pengemis di depan, saya kemudian disambut oleh beberapa orang lain yang menawari saya untuk membeli kantong keresek hitam. Tentu maksudnya adalah untuk mengantongi sepatu. Saya tidak tahu apakah kantong keresek ini akan berguna di hari lain saat pengunjung masjid penuh sesak. Tapi hari itu saat kami datang, masjid sedang tidak penuh. Jadi saya jelas-jelas tidak membutuhkan kantong keresek. (Maaf, saya ini pengikut gerakan Go Green).

Untungnya, saya tidak membeli kantong keresek, karena tepat setelah masuk pintu utama masjid, ada plang besar bertuliskan "Tempat Penitipan Sepatu GRATIS."

Selain ditawari kantong keresek, saya juga ditawari mukena, masih oleh warga-warga sekitar yang memang setiap hari mangkal di masjid mencari penghidupan seperti itu.

Saat masuk ke dalam masjid, di sebelah kanan Tempat Penitipan Sepatu Gratis itu, ternyata ada Tempat Peminjaman Mukena (yang juga) GRATIS.

Mungkin saat masjid penuh, tawaran (kantong keresek dan) mukena sewaan ini akan berguna bagi para pengunjung yang tidak membawa mukena. Tapi saat masjid hanya memiliki sedikit pengunjung seperti pada hari-hari biasa ini, it's kinda tricky, you know. Dengan memanfaatkan ketidaktahuan orang-orang, bahwa di dalam telah disediakan fasilitas penitipan sepatu dan peminjaman mukena yang nyaman dan gratis oleh masjid, warga-warga lokal ini menjual sesuatu dengan cara menjebak. Menawarkan barang yang bahkan tidak kita butuhkan, tapi karena ketidaktahuan, kita pun jadi membelinya. Tell me, how would you like that kind of trade?
Maybe they will give you some kind of excuses, such as, "Namanya juga usaha. Harganya juga ga seberapa. Itung-itung Anda bersedekah lah sama kami."
But the think is, I rather like an honest trade.

Teras terbuka di lantai 2

Tapi di atas semua itu, ada hal utama yang paling mengecewakan saya. 

Sore itu, suami saya yang telah selesai memotret sana-sini sudah membungkus kameranya saat adzan Ashar berkumandang. Saya memutuskan untuk mengajak anak kami mengalami bagaimana rasanya salat di masjid terbesar ini. Tentu akan menjadi sebuah pengalaman spiritual yang bagus untuknya, terutama mengingat putri 6 tahun saya ini sedang kami galakan sekali untuk salat 5 waktu dengan rajin dan benar.

Berbekal semangat itu, saya dan putri saya pun segera mengambil tempat di bagian paling depan masjid, di shaf pertama, yang kebetulan masih kosong. Setelah beberapa saat kami duduk, tiba-tiba seorang ibu setengah baya menghardik saya dengan suara yang cukup keras dan wajah cukup marah, hingga semua orang di sekeliling kami pun berpaling kepadanya. Dia bilang, "BU, YANG KECIL SALATNYA DI BELAKANG AJA!!!"

..........................???
What??!

Saya berani mengajak putri saya salat di shaf pertama karena putri saya sudah bisa salat dengan tertib. Lagipula saat itu masjid sangatlah kosong dan hanya berisi jamaah sebanyak 2 shaf setengah.
Pikir saya semula, usia putri saya ini adalah saat yang paling tepat untuk diberikan pendidikan mengenai salat yang benar dan mengenai dasar-dasar agama. Belajar untuk mencintai agamanya sendiri dengan menunjukkan keagungan dan kebaikan dalam agamanya. Saya ingin memberi putri saya pengalaman spiritual yang baik.
Tapi putri 6 tahun saya yang masih dalam tahap belajar salat ini diusir dengan hardikan marah oleh orang yang konon hendak melakukan salat juga. 

..................

Kami pun pindah ke shaf kedua. 
Pertanyaan saya masih menggantung, "Memangnya apa bedanya kalau putri saya salat di shaf pertama atau di shaf kedua? Apa bedanya untuk si ibu? Apakah merugikan dia? Dan kenapa pula caranya harus dengan semburan marah yang tiba-tiba?"

Mihrab

No comments:

Post a Comment