Tuesday, August 24, 2010

TEORI IMITASI

-->
Seorang nenek sihir mengaduk ramuan ajaib berwarna hijau lumut berisi akar-akaran, kaki kodok dan ekor tikus dalam sebuah wajan yang diletakkan di atas tungku api tua. Ia meneteskan ramuan itu pada sapu terbangnya kemudian mengayunkan tongkat ajaib sambil mengucapkan mantra sakti: “Simsalabim!”
Mantra sihir seperti simsalabim ini memiliki beberapa versi. Orang Arab menyebutnya abrakadabra, orang Inggris dengan hocuspocus-nya, sedangkan seorang penyihir dalam sebuah cerita komik jaman dulu di majalah anak-anak Bobo memiliki mantra ajaib alakazaam.
Kasus serupa di atas berlaku pula dalam penggambaran bunyi (die Lautmalerei) binatang. Bunyi binatang yang sama bisa memiliki penggambaran yang berbeda dalam bahasa yang berbeda pula. Penggambaran ini tergantung pada konvensi dari bahasa yang bersangkutan dan sifatnya arbritär/manasuka alias tidak ada ketentuan khusus. Contohnya suara kucing dalam bahasa Indonesia digambarkan dengan kata “meong”, sedangkan dalam bahasa Jerman “miaut” dan dalam bahasa Inggris “miaow”. Atau penggambaran suara ayam dalam bahasa Sunda adalah “kongkorongok”, dalam bahasa Indonesia “kukuruyuk”, sedang dalam bahasa Jerman “kikeriki”.
Teori imitasi bunyi-bunyi di atas disebut onomatopetik atau Onomatopoeia atau ekokik, yang berarti imitasi bunyi atau gema. Ada pula yang menyebutnya Teori bow-wow. Teori onomatopetik ini pertama kali dirintis oleh JG. Herder. Ia memberikan batasan bahwa objek-objek diberi nama sesuai dengan bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh objek itu. Misalnya bunyi binatang atau peristiwa alam. Manusia berusaha meniru bunyi anjing, bunyi ayam dan sebagainya dan akan menyebut objek-objek atau perbuatannya dengan bunyi itu. Dengan cara ini terciptalah kata-kata dalam bahasa. D. Whitney mengemukakan bahwa dalam tahap pertumbuhan bahasa banyak kata baru yang timbul dengan cara seperti ini. Kata-kata tersebut mulai timbul pada anak-anak yang berusaha meniru bunyi kereta api , mobil dan sebagainya (Keraf, Gorys. 1996: Linguistik Bandingan Historis. Jakarta. Gramedia). Peniruan bunyi “r” ini disebut Brummlippchen ‘r’ oleh orang Jerman, yakni berupa gumaman yang tak jelas. Contoh: “Brrrrmm...”.
Imitasi bunyi-bunyian tersebut biasanya banyak terdapat dalam komik sebagai salah satu unsur verbal. Fungsinya untuk membuat komik menjadi lebih hidup dan menarik. Misalnya saat Donal Bebek mengetuk pintu rumah Miki Tikus, maka akan disertai imitasi bunyi “Tok, tok, tok!”. Lain halnya dengan Donald Duck yang mengetuk pintu Mickey Mouse, imitasinya akan menjadi “Knock, knock!”.
Film seri televisi Batman pun turut pula menggunakan onomatopetik dalam adegan-adegan perkelahiannya dengan menyertakan imitasi-imitasi bunyi seperti: “Pow!!”, “Bang!!” dan “Boom!!”.
Penggambaran bunyi ini bisa sama dalam beberapa bahasa yang berbeda, misalnya bunyi “Zzzz...z...z...z...” untuk menggambarkan orang yang sedang tidur (mengorok). Namun ada pula imitasi bunyi yang jauh berbeda antara bahasa satu dengan bahasa lainnya. Anak-anak Indonesia saat bermain perang-perangan akan berteriak: “Dor, dor, dor!!”. Sedangkan anak-anak Jerman malah berteriak “Peng, peng, peng!!”. Kendati demikian, kedua penggambaran bunyi yang jelas-jelas berbeda tersebut memiliki makna yang sama, yaitu suara tembakan.
By: Sri Noor Verawaty

No comments:

Post a Comment