Monday, September 20, 2010

Anne of the Green Gables

By: Sri Noor Verawaty

Judul: Anne of the Green Gables
Penulis: Lucy M. Montgomery
Penerjemah: Maria M. Lubis
Penerbit: Qanita, Mizan Pustaka
Tanggal Terbit: Desember 2008


Anne: “Pernahkah kau menyadari satu kelebihan dariku, Marilla? Aku tak pernah mengulangi kesalahan yang sama.”
Marilla: “Karena kau selalu membuat kesalahan yang baru.”



Pertama kali membaca buku ini membuatku teringat akan serial Little House on the Prairie (1974) yang dibintangi oleh Michael Landon. Aku membayangkan kurang lebih seperti itulah Green Gables tempat Anne tinggal. Tapi buku ini jauh lebih tua dari kisah Green Gables, yaitu sekitar tahun 1908. Sebuah era yang hanya bisa aku baca dalam buku-buku sejarah.

Rasanya sulit sekali membayangkan bagaimana orang-orang pada jaman itu hidup. Dimana alat transportasi hanya berupa kereta kuda dan akses informasi hanya bisa didapatkan jika kita berjalan menuju ke sumbernya secara langsung. Suatu hari Anne pernah berkata, “Hari yang sangat mengagumkan! Bukankah menyenangkan untuk hidup pada hari seperti ini? Aku merasa prihatin terhadap orang-orang yang belum lahir sehingga tidak bisa menikmati ini.” Tapi aku merasa, akulah yang mengasihani Anne karena pada jaman dia hidup tidak ada tivi, tak ada mobil, tak ada Facebook, tak ada Google. Tapi seperti kata Marilla, “Orang tidak akan merasa sedih atas sesuatu yang tidak dia ketahui.” Jadi dengan segala keterbatasan yang ada, pada masanya dulu Anne adalah seorang gadis yang selalu menikmati kehidupannya.

Sebelum datang ke Green Gables, Anne mengalami hidup yang sulit. Orangtuanya meninggal saat dia masih kecil. Diapun diasuh—lebih tepatnya dijadikan pengasuh oleh dua keluarga yang pernah menampungnya, sebelum akhirnya Anne dikirim ke panti asuhan. Karena kesalahpahaman, diapun tiba di Green Gables dan akhirnya diadopsi oleh kakak beradik Marilla dan Matthew Cuthbert yang tinggal di desa Avonlea, di sebuah pulau cantik bernama Prince Edward, Kanada.

Saat membaca buku ini, aku merasa kelelahan dengan dialog Anne yang selalu panjang. Setiap dialognya tidak pernah kurang dari satu paragraf, dan yang paling panjang mencapai dua halaman penuh. Bahkan sebenarnya itu tak pas jika disebut dialog, lebih tepat jika disebut monolog. Lelah, karena aku membacanya sambil membayangkan Anne mengucapkan monolog itu hingga dia kehabisan napas dan akupun ikut kehabisan napas. Ah, betapa cerewetnya Anne!

Kecerewetan Anne disebabkan oleh imajinasinya yang luar biasa. Dia anak yang sangat “hidup” dan mencintai kehidupan. Anne selalu hiperbolik dan dramatis saat melukiskan sesuatu dan kata-katanya terlalu canggih untuk ukuran anak kecil pada masa itu. Anne adalah anak yang ekspresif dan bebas, sehingga Marilla—ibu angkatnya—sering menegur dia sekaligus merasa iba karena Anne tidak pernah dididik dengan semestinya sesuai nilai dan norma yang berlaku.

Membicarakan nilai dan norma pada masa itu sungguh-sungguh di luar imajinasiku. Etika-etika yang berlaku sangat konservatif. Perilaku dan tatakrama dalam seluruh aspek kehidupan diatur dengan ketat. Orang-orang terasa kaku, formal dan segan. Jadi, Anne yang bebas dan ekspresif bagaikan pendobrak nilai-nilai baru dan justru dianggap “tidak beretika” dan berdosa.

Warna rambut Anne yang merah menjadi kesulitan tersendiri baginya. Tidak seperti sekarang, dimana rambut merah dianggap sebagai sesuatu yang eksotis dan rambut pirang adalah lambang kecantikan, pada masa Anne dahulu, justru rambut gelaplah yang dianggap sebagai warna ideal. Hitam atau cokelat tua. Sedangkan warna merah bagaikan aib. Perlambang image buruk bagi siapapun pemiliknya. Anne yang sangat memedulikan penampilan selalu merasa menderita jika mengingat warna rambutnya.

Di Green Gables Anne dididik dengan baik oleh pasangan Cuthbert. Dia juga menemukan “teman sehati”-nya, Diana. Berdua merekapun melakukan petualangan-petualangan seru, berbagi segala hal dan menamai tempat-tempat di Avonlea dengan nama-nama yang indah.

Tapi seperti juga Anne—tokoh yang dikarangnya, Lucy M. Montgomery—sang penulispun lebih suka membuat pembacanya menangis daripada tertawa.

Sri Noor Verawaty

No comments:

Post a Comment