By: Sri Noor Verawaty
Siang itu saat kami bertiga memutuskan untuk pergi ke stasiun kereta di tengah sengatan terik matahari Bandung, terbersit satu hal di dalam pikiranku, “Welcome to Bandung-Sunday-jam. This is the kind of jam that you won’t like. We should’ve just stayed at home and enjoyed peaceful nap in our cozy cool bed”.
But there we were in the middle of the jam, under the burning sun. Sounds hyperbolic maybe, but that was how I felt yesterday. But eventually, that was paid off.
Setelah membeli satu tiket kereta jurusan Bandung-Jakarta untuk suamiku esok paginya, anakku, ingin masuk ke dalam stasiun untuk melihat kereta. Karena karcis peron sudah tidak berlaku lagi, maka kami pun membeli 2 buah tiket kereta termurah seharga @ Rp1.000 saja. Tak penting jurusannya ke mana karena kami tidak berniat menaikinya, yang penting kami bisa masuk ke dalam stasiun.
Suamiku adalah “train-freak”. Ralat dia, “rail-fan”, merevisi istilah yang aku sebut tadi. Tapi aku keukeuh menjulukinya “train-freak”. I bet you will say that too if you know him as much as I do: he is a “train-freak”! Dan dia menularkan virus kereta ini ke anakku, walaupun baru sebatas film “Thomas” saja. Jadi sewaktu anakku meminta masuk ke dalam untuk melihat kereta, tentu saja suamiku mendukung dengan sepenuh hati. Kamipun masuk dan mengajak anakku berkeliling melihat gerbong, lokomotif, and some signs yang tidak aku fahami. Anakku selalu excited saat melihat kereta. Suamiku sangat excited menjelaskan ini itu kepadanya.
Selepas berkeliling, kami duduk-duduk di kursi tunggu di dalam stasiun. Ternyata ada live music di sana. Cukup menyenangkan. Sembari menunggu matahari turun, kami pun menikmati minggu petang di sana. Udara sudah cukup adem, ditambah angin sepoi-sepoi yang bertiup perlahan. Lumayan juga.
Para “artists” yang menggelar Sunday music live menyanyikan sejumlah lagu, mulai dari lagu Sheila on Seven, Padi, hingga Peterpan, dengan diiringi alat-alat musik seadanya, gitar dan jimbe. Bandung memang gudang artist, entah mereka bermain di jalanan, di pojok stasiun, di perempatan lampu merah, atau di warung tenda pinggir jalan. Silahkan jika kalian ingin tetap memanggil mereka “pengamen”. Tapi bagiku, sebagian dari pemusik jalanan di Bandung ini adalah artist. Seniman! Mereka memiliki suara yang lumayan bagus, mereka memainkan alat musik dengan baik, dan bahkan mereka bisa bernyanyi lebih bagus daripada sebagian penyanyi sumbang yang kebetulan punya tampang dan kesempatan untuk tampil di stasiun TV. Atau secara vulgar: Pengamen di stasiun kereta kemarin suara dan kemampuan bernyanyinya lebih bagus daripada boyband SMASH (dan beberapa penyanyi lain)!
That! I’ve said it.
Minggu petang yang menyenangkan di stasiun Bandung. It’s another thing I love from Bandung. A beautiful city that keeps me falling in love over and over again.
Siang itu saat kami bertiga memutuskan untuk pergi ke stasiun kereta di tengah sengatan terik matahari Bandung, terbersit satu hal di dalam pikiranku, “Welcome to Bandung-Sunday-jam. This is the kind of jam that you won’t like. We should’ve just stayed at home and enjoyed peaceful nap in our cozy cool bed”.
But there we were in the middle of the jam, under the burning sun. Sounds hyperbolic maybe, but that was how I felt yesterday. But eventually, that was paid off.
Setelah membeli satu tiket kereta jurusan Bandung-Jakarta untuk suamiku esok paginya, anakku, ingin masuk ke dalam stasiun untuk melihat kereta. Karena karcis peron sudah tidak berlaku lagi, maka kami pun membeli 2 buah tiket kereta termurah seharga @ Rp1.000 saja. Tak penting jurusannya ke mana karena kami tidak berniat menaikinya, yang penting kami bisa masuk ke dalam stasiun.
Suamiku adalah “train-freak”. Ralat dia, “rail-fan”, merevisi istilah yang aku sebut tadi. Tapi aku keukeuh menjulukinya “train-freak”. I bet you will say that too if you know him as much as I do: he is a “train-freak”! Dan dia menularkan virus kereta ini ke anakku, walaupun baru sebatas film “Thomas” saja. Jadi sewaktu anakku meminta masuk ke dalam untuk melihat kereta, tentu saja suamiku mendukung dengan sepenuh hati. Kamipun masuk dan mengajak anakku berkeliling melihat gerbong, lokomotif, and some signs yang tidak aku fahami. Anakku selalu excited saat melihat kereta. Suamiku sangat excited menjelaskan ini itu kepadanya.
Selepas berkeliling, kami duduk-duduk di kursi tunggu di dalam stasiun. Ternyata ada live music di sana. Cukup menyenangkan. Sembari menunggu matahari turun, kami pun menikmati minggu petang di sana. Udara sudah cukup adem, ditambah angin sepoi-sepoi yang bertiup perlahan. Lumayan juga.
Para “artists” yang menggelar Sunday music live menyanyikan sejumlah lagu, mulai dari lagu Sheila on Seven, Padi, hingga Peterpan, dengan diiringi alat-alat musik seadanya, gitar dan jimbe. Bandung memang gudang artist, entah mereka bermain di jalanan, di pojok stasiun, di perempatan lampu merah, atau di warung tenda pinggir jalan. Silahkan jika kalian ingin tetap memanggil mereka “pengamen”. Tapi bagiku, sebagian dari pemusik jalanan di Bandung ini adalah artist. Seniman! Mereka memiliki suara yang lumayan bagus, mereka memainkan alat musik dengan baik, dan bahkan mereka bisa bernyanyi lebih bagus daripada sebagian penyanyi sumbang yang kebetulan punya tampang dan kesempatan untuk tampil di stasiun TV. Atau secara vulgar: Pengamen di stasiun kereta kemarin suara dan kemampuan bernyanyinya lebih bagus daripada boyband SMASH (dan beberapa penyanyi lain)!
That! I’ve said it.
Minggu petang yang menyenangkan di stasiun Bandung. It’s another thing I love from Bandung. A beautiful city that keeps me falling in love over and over again.
No comments:
Post a Comment