Sunday, October 7, 2012

Aku Tak Pernah Mengajari Anakku

Aku pernah ditanya oleh orang asing, “Bu, anaknya bisa ngomong bahasa Inggris selancar itu, gimana ngajarinnya, apa tiap hari diluangkan waktu beberapa jam buat belajar, gitu?”
Yang terpikir pertama olehku adalah, tega banget seorang ibu, sampe ngeluangin waktu tiap hari sekian jam untuk memaksa anaknya belajar. Beban banget untuk si anak, apalagi masih kecil. Aku tidak pernah mengajari anakku apapun… hehe. Maksudnya, aku tak pernah menyengajakan diri dan meluangkan waktu khusus untuk “mendudukkan” anakku dan mengajarinya. Kemampuan apa pun yang sekarang dimiliki anakku, dia dapatkan sambil bermain. Dia tak pernah “belajar.” Aku tidak “mengajarinya.”

Anakku aku ajak ngobrol bahasa Inggris sejak dia mulai bisa bicara. Ada beberapa kata berbahasa Inggris yang memang lebih mudah diucapkan oleh balita daripada kata dalam bahasa Indonesianya. Contohnya, “sepuluh” dan “ten,” “kucing” dan “cat,” “harimau” dan “tiger,” jelas lebih mudah dan pendek bahasa Inggrisnya  Jadi kalau dia bertanya, “Bunda ini apa?” Aku akan jawab dengan kata yang lebih mudah diucapkan, “Tiger.” Saat itu dia masih belum tahu itu bahasa apa, Inggris, Indonesia, Sunda, Jerman, dia tak tahu bedanya. Tak apa-apa. Yang penting dia belajar “ngomong” dulu, tahu apa nama-nama bendanya dulu.

Saat usianya bertambah dan dia sudah bisa mengucapkan kalimat lengkap, aku mengajak dia mengobrol bilingual, “Qei, could you please bring me a spoon. Qei, tolong ambilin sendok, ya.” Atau “Qei, close the door, will you. Qei, tolong tutup puntunya ya.” Kalimat berbahasa Inggris yang selalu diiringi bahasa Indonesianya. Cuma bahasa sehari-hari. Aku mulai memberikan contoh kalimat dan grammar. Kadang bahasa anakku jadi carut marut. “Kunci,” karena banyak, jadi dia bilang “Kuncis.” Terus ada kata-kata bahasa Indonesia yang menyelip di kalimat berbahasa Inggris yang dia ucapkan, atau sebaliknya. Kadang aku betulkan, tapi sering aku biarkan saja. Paling-paling aku tertawa karena kalimat dia jadi lucu.

Setelah aku amati, ternyata auditory anakku lebih tajam dari visualnya. Dia jauh lebih cepat menangkap musik daripada gambar. Di 1-3 not awal saja dia sudah bisa tahu itu lagu apa, musik apa, atau jingle iklan apa. Jadi aku pun mulai mendownload lagu-lagu berbahasa Inggris untuknya. Tentang huruf, tentang angka, tentang warna, lagu-lagu anak. Terserah dia mengerti liriknya atau tidak. Tak apa-apa. Yang penting dia terbiasa mendengarnya. Selain itu, setiap malam sebelum tidur, aku suka membacakan buku untuknya, juga dalam bahasa Inggris.

Usia dua tahun setengah, kami baru memperbolehkan anakku untuk menonton TV, acara anak-anak. Hanya sekitar setengah sampai satu jam setiap hari. Sengaja kami setelkan acara-acara berbahasa Inggris. Tak apa-apa kalau dia belum mengerti, karena dia harus dibiasakan mendengar native speakernya bicara  langsung, dengan gaya bahasa dan pengucapan asli mereka, dan bukan dengan gaya bahasa dan pengucapan ayah bundanya yang kaku karena berlidah Indonesia.

Jadi, anakku tak pernah belajar. Dia hanya mendengarkan ayah bundanya bicara, mendengarkan lagu-lagu kesukaannya, dan menonton film favoritnya. Semua dalam bahasa Inggris. Itu saja.

No comments:

Post a Comment