By: Sri Noor Verawaty
Judul: “Padang Bulan” & “Cinta di dalam Gelas”
Penulis: Andrea Hirata
Penerbit: Bentang
Tanggal Terbit: Juni 2010
Aku adalah seorang penerjemah buku bahasa Jerman dan Inggris. Saat menerjemahkan aku seringkali merasa terganggu dengan minimnya padanan kosakata dalam bahasa Indonesia. Satu kata dalam bahasa Inggris sering menjadi dua kata saat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Benar kata Remy Sylado dalam bukunya “9 dari 10 Kata dalam Bahasa Indonesia adalah Bahasa Asing”. Opini itu bercokol dalam pikiranku selama bertahun-tahun hingga aku membaca buku Andrea Hirata, Laskar Pelangi.
Aku adalah pecinta buku. Tapi terus terang, aku tidak pernah suka buku karya penulis Indonesia. Dari sekian banyak buku yang telah aku baca, hanya ada beberapa novel Indonesia saja yang pernah aku buka, itupun tak membuat hatiku tergerak. Seringkali karena isinya yang “tak berisi”, atau kadang karena temanya yang realis dan suram, buram, muram, kelam. Membacanya hanya akan membuatku mimpi buruk.
Suatu hari aku bertemu dengan seorang teman yang membicarakan tetralogi Laskar Pelangi. Kalau tidak salah, waktu itu baru terbit dua buku. Aku hanya melongo, mengangguk-angguk tapi tidak terlalu tertarik untuk membacanya. Paling-paling seperti novel-novel Indonesia lainnya, pikirku. Sampai aku menonton Kick Andy yang membahas Laskar Pelangi. Dari sanalah aku mulai tertarik. Memangnya apa isi buku itu sampai bisa mengubah hidup orang-orang sedemikian rupa?
Baru tiga buah buku karya Andrea Hirata yang aku baca, yaitu Laskar Pelangi dan Dwilogi Padang Bulan. Anehnya, saat aku membaca karya-karya Andrea, aku merasa bahasa Indonesia ternyata sangat kaya dan sangat indah. Dan ternyata novel karya anak bangsa bisa juga berisi dan menggugah. Laskar Pelangi adalah novel Indonesia pertama yang membuatku tergugah, mengacungkan jempol dan ingin membaca karya Andrea Hirata lagi. Maka sampailah aku ke novel Dwilogi Padang Bulan.
Dalam novel ini lagi-lagi aku disadarkan bahwa ternyata bahasa Indonesia—atau lebih tepatnya, kosakata bahasa Indonesia Andrea Hirata—itu kaya. Bahwa nun jauh di sana, di pulau yang tak aku kenal, bernama Belitong, ada kehidupan yang sangat menarik untuk dikisahkan, ada orang-orang hebat yang tegar, ada tambang timah yang sebelumnya hanya aku ketahui dari buku pelajaran, ada pula bujang-bujang lapuk. Warga Belitong ternyata memiliki toleransi antar suku yang tinggi karena selain bangsa Melayu, di Belitong hidup pula warga Tionghoa, suku bersarung, dan Sawang, berikut segala deskripsi uniknya yang jauh lebih menarik saat diceritakan oleh Andrea Hirata dibandingkan dengan yang tercatat dalam buku-buku IPS. Di Belitong pulalah tercipta sebuah teori yang kini dikenal hingga ke mancanegara: “Teori Sakit Jiwa Bernomor”.
Buku Andrea bagaikan buku sosiologi lengkap tentang warga Belitong. Karakter setiap tokoh terasa kuat, mapan dan unik. Setiap pribadi terasa menarik. Ikal, Maryamah, Detektif M. Nur, bahkan tokoh-tokoh figuran lainnya diberikan sifat, kepribadian dan ciri yang begitu hidup, sehidup kisah Andrea tentang bidak-bidak catur yang menjelma menjadi perompak.
Andrea bisa menceritakan tragedi dengan cara komedi. Sebuah ironi kehidupan bisa menjadi sesuatu yang lucu di tangannya. Andrea menceritakan Enong mulai dari titik balik nasib yang membentuknya menjadi manusia yang tegar, berbagai pengalaman hidup yang tidak berpihak kepadanya, dan metamorfosisnya menjadi seorang grand master.
Namun sebagai penulis Andrea juga memihak tokoh utamanya ini. Dia memenangkan Enong dengan membayarkan budi di masa lalu dan membalaskan semua dendamnya.
Ada satu hal yang tidak disebutkan di dalam buku dan membuatku bertanya-tanya… Kalau orang yang membuat Buku Besar Peminum Kopi, itu termasuk kategori sakit gila nomor berapa?
Hua...
ReplyDeletesaya juga ngefans andrea.
btw, mampir ke blog saya ya
hehe... thanks dah mampir... ^_^
ReplyDelete