Wednesday, August 25, 2010

Invisible People Around Us

Mang Jajang adalah satpan kompleks di RT kami. dari laporan keuangan bulanan RT, aku tahu, gajinya hanya 250-ribuan sebulan. Untuk kami, uang sejumlah itu hanya cukup untuk membeli diaper Qei selama sebulan. Untuk Mang Jajang, uang sejumlah itu dia gunakan untuk menghidupi seluruh biaya hidup dia, istri dan anak2nya selama sebulan. Ironis...
Kadang2 mang Jajang suka bantuin warga ngecat rumah atau pekerjaan tukang lainnya untuk menambah penghasilan.
Hebatnya, Mang Jajang adalah orang yang jujur, ramah, & bertanggung jawab sama pekerjaannya.
Bukan sekali dua kali, di malam2 saat hujan gerimis turun, kami mendengar langkah kaki & tongkatnya berbunyi di jalan depan rumah, keliling, patroli setiap beberapa jam sekali. Ga menghiraukan hujan, ga menghiraukan itu udah jam 2 dinihari sekalipun. Salut!
Kalau kami meminta tolong dia buat ngebersihin rumput di halaman rumah, kalian akan tercengang seperti kami. Pekerjaannya rapi sempurna. Bahkan bagian yang sepele, atau bagian di depan jalan pun akan dia bersihkan tanpa perlu diminta. Hebat!
Dia juga tak segan2 menawarkan bantuan dan itu dia lakukan dengan sukarela, termasuk saat membantu Mas Dody memotong pohon palem yang dipenuhi ulat. Upahnya hanya dengan segelas kopi. Tapi dia tidak lupa berterimakasih untuk sesuatu yang sepele seperi itu.

Teteh Sampah. Bukan maksud buat nyumpahin, tapi emang ga tau namanya. Jadi aku mengidentifikasi dia dengan sebutan itu. Si teteh ini adalah pemulung. Mungkin sebenernya usianya ga jauh beda dari aku. Tapi sepertinya kerasnya kehidupan yang dia alami jauh melebihi yang telah aku alami. Aku mengidentifikasi diriku sebagai orang yang mudah tertawa. Sebaliknya, si Teteh ini jarang sekali tersenyum. Ramadhan dua tahun lalu, suamiku sempet nitipin uang infak yang aku putuskan untuk diberikan kepada si teteh. Tak seberapa memang, tapi itulah kali pertama aku melihat dia tersenyum. Senang rasanya.

Bapa Sayur. Lagi-lagi ga tau namanya. Bapa Sayur ini adalah salah satu pedagang sayur di komplek kami. Bedanya, dia memakai alat yang lebih tradisional, bukan memakai motor, tapi masih ditanggung. Dulu, awal2 tinggal di kompleks ini, aku sering beli sayur dari dia. Tapi karena sekarang di jalan belakang rumah ada warung sayur yang jauh lebih komplit, aku lebih memilih untuk berbelanja di sana. Sampai suatu waktu, yaitu beberapa minggu lalu, aku memberhentikan si Bapa Sayur buat belanja dan terkaget-kaget... Kok rambut si Bapa udah penuh uban semua? Kerutan ketuaan udah sangat tampak. Kulit yang makin hitam. Dan baju yang sama dengan yang dulu, tapi sudah jauh lebih lusuh.... Aku kaget...
Memangnya sudah berapa tahun aku ga ketemu dia? Aku yakin ga mungkin lebih dari 2 tahun. Tapi kok dari jejak yang tampak di diri si Bapa, seolah-olah udah lebih dari lima tahun aku ga ketemu dia...
Aku jadi berpikir... mungkin dua tahun terakhir ini kehidupan telah menempa dia dengan sangat keras sehingga tanda2 ketuaan dalam diri si Bapa, lebih cepat beberapa tahun dari seharusnya...

Kakek2 penjual segala macam. Dialah yang paling luar biasa dari semuanya. Usia si kakek ini (aku yakin) udah lebih dari 70 tahun... Usia yang terlalu tua untuk bekerja keras seperti itu. Si kakek ini adalah penjual apa saja. Dan dia membawa barang dagangannya dengan ditanggung. Berkilo-kilo ubi, lain hari berkilo-kilo singkong. Kalau sedang musim pisang, dia akan menjual pisang, kalau lagi musim jagung, dia akan menjajakan jagung. Kalau ga bukan singkongnya, dia akan jual peuyeumnya. Kalau lagi musim alpukat, dia tidak ketinggalan jualan aplukat. Amazing. Luar biasa. Hebat. Unbelieveable....

Itulah hidup. Ironis. Perlu perjuangan. Dan untuk beberapa orang, perjuangan itu jauh lebih keras dibandingkan dengan sebagian lainnya.
Kadang aku berpikir, ini adalah salah satu alasan kenapa kita harus menjadi kaya: untuk memberi, untuk menolong...
Tapi kata suamiku, ga perlu nunggu kaya untuk memberi dan menolong. Kita bisa melakukannya kapan saja, sama siapa saja, dengan apa saja... Kalau ada niat yang ikhlas, lakukan saja semampunya....

By Sri Noor Verawaty · Sunday, May 3, 2009

No comments:

Post a Comment