Kemarin aku berkunjung ke rumah tetanggaku yang memiliki anak perempuan yang sudah duduk di bangku kelas 1 SD. Di hadapanku dia mulai membuka-buka binder berisi gambar-gambar mewarnai karyanya. Kata dia, gambar-gambar itu bukan dia yang buat, tapi dia yang mewarnainya. Aku memuji dia karena coretan krayonnya bagus,tarikan garisnya searah, mewarnainya rapi di dalam garis, dan pekerjaannya bersih. Bahkan aku memujinya juga karena dia sudah memahami konsep gradasi cahaya dan menerapkan itu dalam gambarnya. Dia mewarnai bagian yang lebih terang dengan warna-warna muda dan bagian yang lebih gelap dengan warna-warna tua. Pilihan-pilihan warna yang dia ambil juga senada dan harmoni.
Merasa dipuji anak itupun mengeluarkan lebih banyak karyanya yang lebih sophisticated: dua buah lukisan kanvas berukuran sekitar 30 x 25 cm. Aku ingat pertama kali dan sekali-kalinya aku melukis di kanvas adalah sewaktu kelas 3 SMP, menggunakan cat minyak. Anak itu melukis dengan cat air dan dia menggambar sendiri. Untuk ukuran anak kelas 1 SD, gambar itu bagus.
Semakin banyak pujian yang mengalir dari mulutku, membuat anak itu lebih membuka diri, bercerita tentang dirinya yang mendapatkan peringkat pertama di kelasnya. Dia menyebutkannya hingga berkali-kali. Dan saat suamiku mendekat untuk melihat gambarnya, dia kembali membahas tentang rangking 1-nya itu. Aku memuji sekadarnya sementara suamiku tidak berkomentar apa-apa.
Peristiwa itu mengingatkanku akan kejadian sewaktu SD. Saat itu aku dan teman-temanku hendak masuk ke SMP dan seorang teman mencela keinginanku untuk masuk ke SMP 1, SMP favorit di kotaku. “Ngapain masuk ke SMP 1, si Anu juga yang di SD biasanya rangking 1, pas masuk ke SMP 1 malah ga dapet rangking.” Dengan kata lain: “Yang dulunya di SD pinter, di SMP favorit jadi bego.”
Well, sudut pandang yang salah, menurutku. Dan terus terang aku juga tidak impressed dengan anak tetanggaku yang sangat bangga dengan rangking satunya. Aku justru lebih terkesan dengan kepandaiannya menggambar. Aku lebih menghargai skill nyata daripada angka di atas kertas. Dan itu pula penekananku pada anakku nanti. Targetku dan suamiku, sebisa mungkin memasukkan dia ke sekolah yang bagus, yang guru-gurunya peduli untuk mengajar dan mendidik, bukan hanya peduli pada jumlah gaji yang dia terima setiap bulan. Aku tak akan terlalu peduli anakku mendapat rangking berapa selama dia belajar dengan baik, memperoleh sesuatu dari yang dia pelajari, dan yang terpenting memiliki keahlian yang dia sukai dan dia tekuni untuk bekal hidupnya nanti.
By: Sri Noor Verawaty
No comments:
Post a Comment