Wednesday, December 11, 2013

Bijak Dalam Memilih Bahan Terjemahan

Dahulu, di awal merintis pekerjaan sebagai penerjemah, aku mengambil apa pun bahan terjemahan yang disodorkan kepadaku, buku, non buku, buku fiksi, non fiksi, novel baru, novel tua dengan bahasa rumit, menjadi penerjemah resmi, maupun ghost-translator (namaku tak tercantum di hasil terjemahan dan aku tidak boleh mengakui karya tersebut sebagai karyaku).
Aku melakukannya pertama karena... yaaa... namanya juga merintis, apa pun pasti dikerjakan. Itung-itung menambah portofolio dan pengalaman.
Kedua, karena namanya penerjemah pemula, pekerjaan yang menghampiri pun tentu masih jarang. Jadi sekali ada pekerjaan, pasti langsung aku sabet tanpa melihat terlebih dulu dan mempertimbangkan tingkat kesulitan dari bahan yang aku ambil. Akibatnya, kalau aku menemukan bahan dengan bahasa Inggris kuno bersastra tinggi, aku kalang kabut, kesulitan memahami dan mengalihbahasakannya ke bahasa sasaran.
Selain itu, dahulu aku memiliki kekhawatiran akan kesinambungan order. Jika aku menolak (misalnya karena bahannya sulit), order itu tentu akan dilempar kepada penerjemah lain. Kalau sudah dilempar ke penerjemah lain, ada kemungkinan order selanjutnya akan bernasib sama.

Sekarang, setelah aku  merasa lebih pede dibandingkan sebelumnya, aku memiliki bargaining power yang lebih baik. Aku bisa memilih bahan yang mampu aku kerjakan dan menolak yang sekiranya memang bukan bidangku. Nah, topik ini yang ingin aku bahas di sini: bijak dalam memilih bahan terjemahan. Aku ingin membahasnya atas dasar pengalaman yang aku alami sendiri.

Saat pertama kali aku ditawari untuk mengedit buku oleh Bos sebuah penerbitan buku, aku justru menolaknya. Sebenarnya, pertama-tama aku diminta beliau untuk meninjau bagian-bagian yang ditandai saja dalam terjemahan tersebut, karena si penerjemah tidak menguasai bahan & hal-hal teknis dalam buku. Kebetulan, aku memang mengerti bahannya. Tapi ternyata, setelah aku cek, bukan hal teknis saja yang bermasalah, tapi seluruh terjemahan itu bermasalah. Mulai dari pemahaman si penerjemah akan bahasa Inggris yang buruk, jadi terjemahannya pun banyak yang salah kaprah, sampai ke EYD yang tidak sesuai dengan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Belum lagi urusan teknis yang banyak ngawur. Sempat terbersit dalam pikiranku, "Kok berani-beraninya si penerjemah ini mengambil bahan yang dia buta sama sekali, ya?"
Jadi, setelah meninjau dan mengedit yang ditandai, aku mengembalikan naskah ke Pak Bos dengan banyak sekali catatan. Dan saat beliau menyadari betapa parahnya terjemahan buku itu, beliau memintaku untuk mengedit semuanya. Dengan berat hati, disertai sejumlah alasan dan permintaan maaf yang sebesar-besarnya, aku menolak untuk mengerjakannya. Salah satu alasanku waktu itu adalah, kesalahan terjemahannya terlalu berat dan penerjemahnya seharusnya dimintai pertanggungjawaban untuk membetulkan pekerjaannya terlebih dulu. Kasarnya sih, lebih baik aku menerjemahkan ulang semua isi buku itu dari awal, daripada harus mengeditnya.

Setelahnya, lini penerbitan tersebut tidak ditangani oleh Pak Bos lagi, tapi diserahkan kepada seorang Ibu Editor. Tawaran untuk mengedit buku berikutnya diberikan oleh si Ibu Editor. Setelah melihat naskahnya, aku pun mengambilnya. Tapi ternyata terjemahan yang satu ini pun parahnya na'udzubillah. Seperti buku sebelumnya, penerjemah yang satu ini juga tidak paham materi buku, pemahaman bahasa Inggrisnya banyak yang kacau, akibatnya terjemahannya juga ngawur. Tapi karena pekerjaannya sudah resmi aku ambil, aku pun berusaha menyelesaikannya sebaik mungkin. Alhamdulillah beres dengan perjuangan yang sangat panjang dan melelahkan, terutama lelah secara psikologis.

Di sinilah aku mulai sadar, "kalau tidak memahami materi yang disampaikan, ga usah nekad ngambil kerjaannya."

Beberapa proyek pengeditan berikutnya kurang lebih bernasib sama. Penerjemah kurang paham akan materi yang disampaikan. Memang hasil terjemahannya tidak sekacau buku yang pertama aku edit, karena para penerjemahnya sudah lumayan berpengalaman. Tapi tetap saja, mengeditnya membutuhkan kerja keras yang melelahkan. Lagi-lagi terbersit dalam benakku, "kalau tidak memahami materi yang disampaikan, ga usah nekad ngambil kerjaannya."

Kemudian Ibu Editor mengirimiku sebuah buku baru untuk diterjemahkan.
Sebenarnya, seperti biasa, untuk semua naskah yang aku terima, aku selalu bilang begini di awal, "Mba, aku liat dulu ya naskahnya, kalo aku bisa, aku ambil kerjaannya." [Kalo ga bisa, aku ga ambil].
Nah, aku memang melihat-lihat, membuka-buka, membaca-baca, dan mengecek buku ini.
Meskipun topiknya berbeda, tapi sebelum ini aku pernah menerjemahkan buku yang temanya bersinggungan dengan buku yang satu ini, jadi aku sudah banyak riset dan memiliki kumpulan kosakata mengenai tema ini: internet. Aku juga suka ngeblog dan tahu sedikit-sedikit tentang blog. Jadi aku pikir, aku tidak buta-buta amat dalam bidang ini.

Setelah membaca-baca bukunya, aku pikir bahasa Inggrisnya juga mudah dipahami. Aku pun bilang kepada Ibu Editor, "Mba, aku ambil ya."
Tapi ternyata, apa mau dikata, bab awal isinya adalah teori murni. Aku lumayan kelabakan, tapi tetap berusaha melanjutkan. Pekerjaannya sudah aku ambil, usaha dulu sebaik mungkin, karena itu adalah bentuk tanggung jawab kita kepada pekerjaan & kepada orang yang memberi kita pekerjaan tersebut. Beberapa bab awal sudah aku terjemahkan dengan rasa tidak puas. Bahasa Inggrisnya memang mudah, tapi materinya tidak aku pahami.

Akhirnya aku menyerah, mumpung aku belum membuang-buang banyak waktu penerbit (yang mungkin mengejar tenggat penerbitan yang cepat), aku pun mengembalikan buku itu disertai dengan rasa malu, penyesalan, dan permintaan maaf yang sebesar-besarnya kepada Ibu Editor. Pertimbanganku, mengembalikan naskah jelas lebih bertanggung jawab daripada aku melanjutkan menerjemahkannya tapi banyak salahnya.
Aku mengatakan, aku akan menerima segala bentuk konsekuensi yang diberikan pihak penerbit kepadaku, termasuk soal fee terjemahan yang tentu saja tak apa-apa jika tak dibayar, karena itu jelas salahku; serta konsekuensi kesinambungan order dari mereka, karena aku telah melakukan kealpaan ini.
Tapi Ibu Editorku yang satu ini sangat baik hati dan bijak.
Aku diminta menyetorkan terjemahanku. Terlebih dulu aku memperbaiki & mengeditnya sebisa mungkin. Kalimat-kalimat yang kurasa meragukan, aku beri tanda highlight, agar memudahkan editor untuk mengecek ulang nanti. Selain itu, aku juga menyertakan catatan terpisah berisi keterangan, definisi, beberapa hasil riset, dan segala hal yang berkaitan dengan terjemahanku.

Aku sadar benar, posisiku sekarang ini seperti para penerjemah yang sebelumnya aku edit pekerjaannya. Pelajaran besar bagi diriku sendiri: "kalau tidak memahami materi yang disampaikan, ga usah nekad ngambil kerjaannya."
Btw, ajaibnya, fee-ku tetap dibayar, padahal aku tidak (berani) mengajukan invoice. It's just a very nice of her.

Setelah kejadian itu, kini aku lebih berhati-hati saat memeriksa naskah baru yang ditawarkan kepadaku. Aku membaca dan mengeceknya dengan lebih detail, agar kealpaan ini tidak terulang lagi.

Jadi, itulah pelajaran besar bagiku: "Kalau tidak memahami materi yang disampaikan, ga usah nekad ngambil kerjaannya."
Ketahuilah batas kemampuan kita sendiri.


No comments:

Post a Comment