Sunday, March 30, 2014

Kunci Agar Anak Kita Bermain Rukun dengan Anak Teman

Saat aku memiliki acara untuk berkumpul bersama teman-teman baikku, kami biasanya dengan sengaja membawa anak-anak, agar mereka bisa saling menemani dan bermain bersama, sementara kami mengobrol tanpa gangguan dan rengekan bosan dari mulut mungil mereka. Alhamdulillah, anak-anak kami biasanya akur dan bermain dengan seru. Hingga pernah aku mendengarkan sebuah komentar, "Mungkin karena orang tuanya bersahabat, jadi anak-anaknya pun akur dan berteman baik pula."

Selama hampir tujuh tahun usia anakku, kami selalu membawa dia ke mana-mana, karena memang kami tidak ingin memiliki pengasuh atau menitipkan mereka kepada siapa pun. Dan selama tujuh tahun ini pula, aku sudah melihat berbagai macam anak yang bermain dengan anakku.

Suatu kali saat kami ke bank, ada seorang anak laki-laki kecil yang meminum Yakult, dan kebetulan botol minum anakku adalah botol Yakult versi besar hadiah dari Budenya. Entah kenapa, tiba-tiba saja, si anak kecil itu menonjok dada anakku. Anakku hanya bengong. Tidak membalas. Aku panggil anakku, tapi dia malah mendekati si anak lelaki itu lagi. Dan anak itu pun kembali menonjok anakku tanpa sebab yang jelas. Aku segera mengambil anakku menjauh darinya.


Sebagai orang tua, tentu kita pernah mengalami kejadian tidak mengenakkan seperti itu dengan anak orang lain. Pertengkaran kecil hingga munggkin satu atau dua pukulan yang menghantam anak kita, atau justru anak kita yang menampar anak orang lain dan membuat perasaan kita tidak enak.

Suatu kali kami pernah sangat terkesan saat berkenalan dengan seorang ibu-ibu yang sangat baik. Kali berikutnya kami bertemu dengan dia, dia membawa kedua putranya. Dengan segera, kedua anaknya pun mengajak anakku bermain dan menawari anakku untuk menggunakan mobil-mobilan mereka. Aku dan suami merasa sangat terkesan dengan kedua anak lelaki itu.
Kami melihat, mereka dibersarkan oleh seorang ibu yang baik, jadi perilaku mereka pun sangat baik. Begitu pula etika mereka. Dan karena mereka hidup berkecukupan, jadi mereka pun tidak gragas, tidak "segala buat aku," tidak norak, dan tidak "takut tak kebagian." Jadi mereka pun dengan senangnya berbagi bahkan tanpa disuruh.

Kadang anak bisa menjadi sumber sumber pertengkaran. Saking sayangnya pada anak, orang tua selalu mendahulukan anak sendiri daripada anak orang lain. "Anakku harus yang lebih dulu. Anakku harus mendapatkan yang lebih banyak. Anakku tidak pernah salah."
Nah, anggapan seperti itulah yang menurutku adalah "penyakit." Itu adalah subjektivitas orang tua yang keterlaluan. Itu adalah bentuk kebutaan.

Dalam hubunganku dengan teman-temanku, baik sikapku kepada anak-anak mereka maupun sikap mereka kepada anakku, alhamdulillah aku merasa kami semua sama-sama objektif dan adil. Terus terang aku menganggap anak teman-temanku seperti anakku sendiri dan aku sungguh-sungguh merasa, anakku juga diperlakukan dan dianggap anak sendiri oleh mereka.

Aku rasa, itulah intinya. Kita bersikap objektif dan tidak buta. Anak kita juga TIDAK SELALU BENAR. Kita harus terbuka dengan kemungkinan itu. Kita harus saling bertenggang rasa.

No comments:

Post a Comment