Thursday, July 26, 2018

Road Less Travelled: Gunung Parang Purwakarta, Sasak Panjang, dan Jembatan Kereta Cisomang

Minggu kemarin, kami, Keluarga Tukang Aprak-aprakan mengerjakan apa yang biasa kami kerjakan: aprak-aprakan! :D "Aprak-aprakan" adalah bahasa Sunda yang artinya road less travelled. Hmm... bahasa Indonesianya apa ya... "bepergiaan ke tempat yang ga ada jalannya, kayak ke hutan atau ke gunung." Kurang lebih seperti itulah artinya.

Dan kali ini kami memilih aprak-aprakan ke Kota Purwakarta.

Perhentian pertama kami adalah sebuah bukit. Suami nge-drone di sana, sementara aku mencari bunga dan insek untuk dipotret. Lokasinya tepat di depan kuburan. Di sana, to my surprise, aku menemukan pohon jambu mete (jambu monyet) yang sedang berbuah walau tak lebat. Jambu mete... kacang mete kesukaanku! Kacang yang harganya udah mirip daging kalau Lebaran. Kacang yang kalau di mertua lagi ada, aku dan suamilah yang biasa menghabiskannya. :D

Beberapa jambu dan biji metenya berserakan di tanah. Saat seorang ibu--yang rumahnya berada tepat di depan kuburan--lewat untuk menjemur padi di dekat sana, aku bertanya, kenapa jambu metenya kok dibiarkan berserakan begitu saja, kenapa ga ada yang mengambil? Si Ibu bilang, iya, emang ga ada yang suka ngambilin, mungkin udah pada bosen, mungkin ga suka. Lagian getahnya bikin kulit menghitam dan mengelupas, katanya.

Wah, mubazir gini, pikirku. Lalu aku meminta izin untuk membawa pulang beberapa biji mete. Buah jambunya sendiri ga ada yang bisa diambil karena memang belum musimnya, jadi buahnya ga banyak dan kalaupun ada satu dua, letaknya hampir di puncak. Kalau memaksa memanjat, aku khawatir disangka, "Ada monyet naik jambu monyet...!"

Itu kisah di kuburan pertama. Di kuburan kedua yang letaknya tepat di tepi jalan, aku meminta suami untuk berhenti sejenak karena di sana ada baaaanyaaak sekali bunga putih cantik yang tumbuh liar. Aku mencabut beberapa rumpun. Bapak-bapak di seberang jalan berseru, "Milari naon (nyari apa?)?"
Aku bilang, nyari bunga. Aku minta izin dan dia berkata sambil tertawa, "Candak we sadayana ari palay, mah. (ambil saja semuanya kalau mau)." Haha... banyak banget, dong.

Perhentian berikutnya adalah Gunung Parang. Suami nge-drone di dekat sana. Kami ga naik ke gunungnya, karena anakku malah tidur di mobil.

Jadi, Gunung Parang yang memiliki ketinggian sekitar 963 meter di atas permukaan laut ini sebenarnya adalah sebongkah batu raksasa. And by "giant", I mean... really, really, really massive! Sementara ketinggian gunung ini dari permukaan tanah yang kami pijak tepat di kakinya kurang lebih sekitar 400 meter lebih mungkin, ya, karena drone suamiku sudah terbang sampai ketinggian 380 meter dan itu belum sampai ke puncaknya.

Di sana sekarang sudah dibuat via ferrata (tangga titian di dinding tebing buat mendaki ke atas) dan ada "hotel" transparan yang menggantung begitu saja di dinding tebing. Not for the faint hearted, really! I'm a faint hearted... and I might just literally faint if I have to spend a night there.

Lanjut ke perhentian berikutnya yang entah di sebelah mana dan entah seperti apa, karena kami memang pergi ke mana saja aplikasi Waze membawa kami. :D
Kami mencari "Sasak Panyawangan" (bahasa Sunda, artinya: "jembatan tempat menikmati pemandangan") referensi dari Google Map. Ternyata setelah sampai di sana, namanya adalah "Sasak Panjang" (jembatan panjang). (Please, make up your mind, Sasak! :D)
Jalannya hanya cukup untuk 1 mobil tok! Kalau kalian berpapasan sama mobil lain, gimana? Euuu... 'ntar lah, dipikirkan saja solusinya di lokasi kalau memang sudah kejadian, ya. Capek kalau dipikirin dari sekarang.

Jadi, Sasak Panjang ini adalah sebuah skywalk (kalau di objek-objek wisata di Bandung, begitulah disebutnya). Jembatannya terbuat dari bambu, karena memang di sana ada banyak sekali hutan bambu, jadi pembuatnya memanfaatkan sumber daya yang ada. Bagus.
Nah, jembatan ini panjang banget dan nyambung ke mana-mana, sampai ke dinding sebuah bukit, dan naik terus hingga ke atas. Ada apakah di atas? Percaya atau tidak: ada kolam renang, katanya. Kok katanya? Iya, karena aku sudah turun dari jembatan sejak beberapa meter awal. :D

Anakku berjalan lumayan jauh, ke batu besar (yup, daerah Purwakarta ternyata kaya dengan batu-batu berukuran raksasa, jadi pengen googling sejarahnya), sampai agak ke atas. Suamiku mengikuti dari belakang dengan tertatih-tatih. He almost kinda "crawled" on it... Suamiku! Suamiku--yang dulu adalah pecinta alam dan penakluk gunung---kemarin berjalan merayap di sepanjang jembatan bambu, sementara anakku menggelinding dengan ceria. Aku ngakak di kejauhan, di bawah, di tempat aman, memijak tanah. Habisnya jembatan bambunya berderit setiap kali diinjak dan ada bolong-bolong di sela-selanya. Jadi aku turun saja. :D

Lanjut ke perhentian terakhir, yaitu Jembatan Kereta Cisomang. Yang satu ini untuk memuaskan kegilaan suamiku pada kereta membuat stok video aerial jembatan keren ini. Suamiku memang seorang train freak railfan, jadi dia senang mengunjungi tempat-tempat apa pun yang berhubungan dengan kereta.

Di tempat ini ada 2 jembatan, yaitu jembatan lama yang dibangun pada zaman kolonial Belanda ("Dibangun tahun 1800-an", kata suami di belakangku barusan) dan satu lagi jembatan baru, yaitu penggantinya, karena jembatan lama sudah tidak laik* pakai.

(*la.ik = memenuhi persyaratan yang ditentukan atau yang harus ada; patut; pantas; layak
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/laik)

Melebar deh pembahasannya. Dasar editor!

Jadi, apa hasil aprak-aprakan kali ini? Seperti biasa: foto. 
Tapi hari itu kami kurang beruntung. Seharian, dari Bandung sampai Purwakarta, dari pagi sampai siang menjelang sore, kondisinya hazy (kabur karena polusi/debu di udara, bukan karena kabut cantik). Memang beginilah nasib fotografer lanskap. Untung-untungan. Kadang cuaca sedang bagus, kadang sebaliknya. Dan kalau sedang tidak beruntung, Photoshop Lightroom comes to the rescue! Satu saja ya fotonya... 

Foto Jembatan Cisomang sebelum (kiri) dan sesudah (kanan) diedit.
Err... ya, suamiku adalah fotografer andal (eaaa) sekaligus editor foto yang mumpuni (eaaa lagi...)
Hubungi nomor.... #ah terlalu vulgar.
Nah, masih ingat dengan kacang mete yang aku bawa pulang? Yang kata si ibu, getahnya bikin kulit menghitam dan mengelupas?

Sesampainya di rumah, aku berusaha membelahnya dengan pisau. Ternyata kulit kacang mete itu keras dan tebal, padahal aku sengaja memilih yang paling muda, masih hijau, karena aku pikir yang ini akan lebih mudah dibuka daripada yang kulitnya sudah mengeras seperti batok kelapa. Dan... karena masih hijau, getahnya juga banyak.

Getah?!! Inikah getah yang kata si ibu itu bikin kulit menghitam dan mengelupas? Terlambat... Tanganku sudah berlepotan. Buru-buru aku cuci dengan sabun cuci tangan, lalu dengan sabun mandi, lalu dengan larutan antiseptik. Rasanya tetap aneh, kulit jari jadi sehalus p@nt@t bayi. Terlalu halus untuk dibilang normal. Beberapa hari kemudian, kulit tanganku mulai mengelupas. Kayak ada selapis tipis yang mulai berubah warna menjadi lebih gelap, terus secara bertahap berguguran. Di situlah aku sadar, kenapa biji jambu mete itu sampai berserakan dan ga ada yang mau memungutnya. Kalau begini ceritanya sih, semahal daging pun mending beli daripada ngurus sendiri. :D

Semoga ada pesan moral yang bisa dipetik dari cerita perjalanan kami kali ini. Minimal: berhati-hatilah dengan getah kacang mete! :D

No comments:

Post a Comment