Bagi saya pribadi, jelas lebih enak menerjemahkan.
Menjadi penerjemah itu = menjadi pembaca pertama dari buku aslinya.
Menjadi penerjemah itu = menjadi perpanjangan tangan penulis.
Saat menerjemahkan, saya memiliki kebebasan sepenuhnya atas pilihan kata & gaya bahasa saya. Sayalah yang berkuasa mengalihbahasakan & mengalihbudayakan bahan yang sedang saya terjemahkan.
Saya senang dengan lonjakan-lonjakan emosi saat menemukan kalimat-kalimat yang lucu maupun rumit.
Menerjemahkan novel jelas memiliki lebih banyak lonjakan emosi dibandingkan saat menerjemahkan buku teori, karena dalam novel, ada antisipasi akan alur cerita juga. Ada rasa penasaran bagaimana akhir kisahnya. Ada rasa jatuh cinta pada tokoh-tokohnya. Ada tantangan saat menerjemahkan puisi berima atau lagu misalnya.
Tapi, menerjemahkan buku teori saya rasa lebih mudah dibandingkan menerjemahkan novel. Bahasa dalam buku teori cenderung menggunakan bahasa sehari-hari yang lugas. Tidak berbunga-bunga, tidak bertele-tele, tidak dengan gaya-bahasa-tinggi tertentu yang sulit untuk dicari padanannya dalam bahasa sasaran. Buku teori itu = saya banget. Lugas. Easy going. Tidak suka basa-basi.
Ego, kebanggaan, dan "rasa memiliki" saya sebagai penerjemah sebuah buku, lebih besar daripada kebanggaan saya sebagai editor.
Sebagai editor, saya selalu merasa seperti sedang "membersihkan sampah orang lain." (pardon my expression). Mungkin karena sejauh saya mengedit, saya selalu mendapatkan terjemahan yang kualitasnya buruk. Jadi bagi saya, mengedit itu lebih menyita perasaan, daripada menyita waktu.
Kadang-kadang saya suka gregetan dengan penerjemahnya. Saya sering bertanya-tanya dan menggugat dalam hati. Kadang suka pengen "Sebodo amat lah, yang jelek toh penerjemahnya." Tapi nurani & rasa tanggung jawab tidak mengizinkan saya untuk melakukannya.
Jadi tetap, saya akan membandingkan kalimat per kalimat dengan buku aslinya untuk mengecek akurasi. But then, it takes so much time and patient...
Bos saya [di salah satu penerbit] pernah bilang, "Kalo saya sih, ngeditnya tanpa membandingkan
sama buku asli, langsung aja baca terjemahannya. Saya 'ngasih kepercayaan' sama
penerjemahnya.'"
Sayang sekali, sampai postingan ini ditulis, saya belum mendapatkan penerjemah yang terjemahannya "bisa saya percayai" sepenuhnya.
Sayang sekali, sampai postingan ini ditulis, saya belum mendapatkan penerjemah yang terjemahannya "bisa saya percayai" sepenuhnya.
Apa mungkin, mengedit novel lebih enak daripada mengedit buku teori seperti ini?
Mungkin setidaknya kalau mengedit novel, tidak ada teori tertentu yang perlu saya khawatirkan. Teori yang kalau
terjemahannya salah, ya bukunya akan jadi cacat.
So, "translator" it is...
No comments:
Post a Comment