Suamiku adalah orang ekstrover, jadi kalau aku ada urusan sama seseorang, dia selalu nyeletuk, "Telepon aja, biar cepet." Anjuran yang tentu saja selalu aku abaikan. Kalau bisa pakai pesan teks, kenapa harus telepon?
Terus terang, aku bahkan nyaris ga pernah ngobrol di telepon sama mertuaku.
Hubungan kami sangat baik. Kalau ketemu langsung, kami ngobrol segala macam, ramai, seperti layaknya orang tua dan anak. Hanya saja, aku ga suka ngobrol di telepon.
Tapi tentu saja panggilan telepon ini ga selamanya bisa dihindari. Suatu waktu, pasti ada telepon penting yang mau ga mau harus diangkat, seperti panggilan telepon untuk urusan pekerjaan. Misalnya dari agensi penerjemah. Ini sangat menegangkan. Ada alasan kenapa aku lebih suka jadi penerjemah (tulis), alih-alih juru bahasa (lisan).
Lebih menegangkan lagi kalau teleponnya dari agensi asing, jadi mau ga mau harus pakai bahasa Inggris. Ada beban tersendiri kalau ngomong dalam bahasa Inggris berlepotan--konon katanya penerjemah. Padahal kalau secara tertulis, aku jago. Ahem...
Tapi kalau udah sering berinteraksi dan kenal, ketegangan telepon ini berkurang, sih.
Ada juga kejadian lucu di platform Kontenesia, tempat kami semua bertemu dengan klien di dunia maya.
Jadi untuk setiap proyek, admin Kontenesia akan membuat sebuah tim berisi project manager/editor, penulis, & business development yang memegang klien tersebut, di sebuah platform yang juga menyediakan fitur video call. Waktu itu, kami sedang mengobrol dengan seorang klien, dan tiba-tiba si klien meminta video call. Langsung kami semua "ngibrit" ke chatroom khusus editor dan panik, siapa yang mau mewakili buat mengangkat video call tersebut.
Kebetulan semua editor ini introver dan memakai kerudung, jadi kami langsung mencari alasan untuk ga menjawab panggilan klien dan mau minta tolong bus dev (Mas Andi) aja yang menjawab, satu-satunya cowo yang ga perlu repot-repot pakai kerudung terlebih dulu untuk menghadapi klien.
Untunglah panggilan dari klien berhenti sebelum sempat dijawab, disertai permintaan maaf, "Kepijit," katanya, yang langsung diikuti oleh embusan napas lega dari kami semua. That was dreadful, really!
Kebetulan semua editor ini introver dan memakai kerudung, jadi kami langsung mencari alasan untuk ga menjawab panggilan klien dan mau minta tolong bus dev (Mas Andi) aja yang menjawab, satu-satunya cowo yang ga perlu repot-repot pakai kerudung terlebih dulu untuk menghadapi klien.
Untunglah panggilan dari klien berhenti sebelum sempat dijawab, disertai permintaan maaf, "Kepijit," katanya, yang langsung diikuti oleh embusan napas lega dari kami semua. That was dreadful, really!
Separah apa sih ketakutanku pada panggilan telepon?
Separah: "Telepon dari Ariel Noah pun ga akan aku jawab."
Bukan, ini bukan analogi. Ini beneran.
Bukan, ini bukan analogi. Ini beneran.
Jadi suamiku yang sudah bertahun-tahun menikah denganku ini ga paham kenapa istrinya takut banget sama panggilan telepon. Pokoknya ga masuk sama logika estrover dia. Jadi suatu kali dia punya ide brilian buat menghubungkan Ariel Noah ke aku lewat telepon. Dia sudah kenal & mengerjakan proyek bertahun-tahun bersama Noah, bahkan sejak Noah masih bernama Peter Pan. Dan selama itu, aku belum pernah sekali pun bertemu dengan salah satu di antara mereka. Maka muncullah ide itu. Suamiku menelepon, lalu bilang, "Bunda, ada yang mau ngomong, nih!" Lalu teleponnya diserahkan ke "orang yang mau ngomong" itu. Dan tadaaaaaaa.... suara merdunya Ariel menyapa di ujung sana, "Halo, Nci..."
Aku tahu suara itu! Refleks aku membanting telepon ke anakku lalu ngibrit ke dapur sambil tertawa tanpa suara.
Aku tahu suara itu! Refleks aku membanting telepon ke anakku lalu ngibrit ke dapur sambil tertawa tanpa suara.
Mungkin itu adalah hal terkejam yang pernah suamiku lakukan kepadaku. :D
No comments:
Post a Comment